SEKRETARIAT

Kompleks Pura Giri Natha,
Jalan Perintis Kemerdekaan KM.12, No.162,
Tamalanrea, Kota Makassar,
Sulawesi Selatan – 90245

Hubungi Kami

Dalam ajaran Hindu upacara agama dapat dimaknai sebagai implementasi dari ajaran acara agama. Secara umum pelaksanaan upacara agama dalam kehidupan keberagamaan umat Hindu dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni upacara nitya karma dan upacara naimitika karma.

Upacara nitya karma, adalah upacara yang dilakukan setiap hari dan upacara naimitika karma adalah upacara yang dilakukan pada waktu tertentu. Contoh jenis upacara yang termasuk dalam upacara nitya karma adalah (1) yadnya sesa, yakni persembahan berupa makanan dan lauk-pauk, setelah selesai memasak; (2) persembahan canang sari, dan (3) melakukan persembahyangan tri sandya, pada pagi hari, siang hari, dan sore hari. Sedangkan yang termasuk upacara naimitika karma adalah upacara yang sifatnya insidental meliputi berbagai jenis upacara yang tercakup dalam upacara panca yadnya.

Namun, kajian ini tidak bermaksud untuk mengulas esensi dari masing-masing upacara tersebut, melainkan fokus pada pelaksanaan upacara nyepi sebagai sebuah proses pendidikan (edukasi). Hari raya nyepi, merupakan salah satu hari suci bagi umat Hindu, yang jatuhnya pada penanggal apisan sasih kadasa sebagai bentuk penyambutan tahun baru Caka. Perayaan hari raya nyepi diawali dengan rangkaian upacara melasti (melis), yang dilakukan tiga hari sebelum puncak upacara nyepi. Secara didaktis-pedagogis pelaksanaan upacara ini mengandung makna penyucian, baik penyucian buana agung (macrocosmos) maupun buana alit (microcosmos).

Makna ini dapat dicermati dari apa yang tersurat dalam lontar “Sundarigama“, yang mengatakan: Irikang triodasi ikang kresnapaksa, lastiana ikang, pratima yogamsa Sang Hyang Tiga Wisesa, luirnya Desa, Puseh, Dalem sarengakena sarwa area, pratima, Dewa Parhyangan padang ke kabeh, kengakena maring sagara, iniring dening wang, saha widhi widana, hidangkan larapan ring Sang Hyang Baruna, malaku anganyut laraningjagat, sasapa klesa letu-hing bhuwana telas kalebur ring sagara. Telas tiningkah saparikrama, mantukakna punang pratima miwah jajaraken munggwing bale panjang aturin datengan, kayeng pralagi. Ri sampun puput sapula-pali, mantu-kakna maring sthananira soang-soang.

Artinya: Pada hari trio dasi krsna paksa, yakni dua hari sebelum hari tilem sasih kasanga atau pada hari ketiga belas sesudah bulan purnama sasih kasanga semua pratima atau pralingga sebagai simbol (niasa) perwujudan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Hyang Widhi Wasa) diusung ke laut atau ke sumber mata air terdekat dengan seperangkat upakara dengan tujuan untuk disucikan. Makna dari persembahan upakara tersebut adalah menghanyutkan semua kekotoran dunia (anganyutaken laraning jagat paklesa letuhing bhuwana).

Dengan mengacu pada isi lontar ”Sundarigama” sebagaimana diuraikan di atas, maka dari perspektif edukasi (pendidikan), dapat dimaknai bahwa upacara melasti merupakan salah satu bentuk pembiasaan bagi umat Hindu untuk melakukan penyucian (pembersihan) terhadap alam semesta (bhuwana agung) dan diri manusia (bhuwana alit) setiap tahun sekali menurut perhitungan kalender Bali. Hal ini sejalan dengan pandangan Fuad Hassan (dalam Widiastono (ed.) 2004:52—66) yang mengatakan bahwa dalam arti luas pendidikan (edukasi) dapat terjadi melalui tiga upaya utama, yakni pembiasaan, pembelajaran, dan peneladanan.

Pembiasaan model ini mengandung arti penting bagi kesadaran umat untuk menyucikan atau membersihkan segala sesuatu terkait dengan keberadaan alam semesta ini. Sebab jika tidak dilakukan penyadaran banyak umat yang kurang paham dengan makna-makna yang terkandung dalam proses pelaksanaan upacara umat Hindu, baik makna filosofis maupun makna simbolis. Demikian pula dengan perayaan hari raya nyepi, sebagai bentuk perayaan tahun baru Caka, yang jatuhnya setiap penanggal apisan sasih kadasa.

Sebagai puncak perayaan hari raya nyepi umat Hindu, terutama di Bali akan merayakannya dengan melakukan tapa, brata, yoga, dan semadi. Dalam konteks perayaan hari raya nyepi brata yang dilakukan umat Hindu meliputi empat larangan antara lain: (1) Amati Gni, yakni larangan untuk menyalakan api, yang secara filosofi sebenamya mengandung dua makna, yakni tidak boleh menyalakan api dalam arti yang sesungguhnya. Kemudian secara filosofis juga mengandung makna bahwa pada saat perayaan hari raya nyepi umat Hindu tidak boleh menyalakan api yang ada dalam diri manusia itu sendiri, yang termanifestasi dalam bentuk nafsu (keinginan). Jadi pada saat perayaan nyepi umat Hindu diwajibkan melakukan brata untuk tidak menuruti segala keinginan (hawa nafsunya), dalam arti mengendalikan hawa nafsu; (2) Amati Karya, artinya pada saat perayaan nyepi umat Hindu juga tidak dibolehkan melakukan berbagai bentuk aktivitas fisik, dengan maksud agar umat dapat fokus melakukan penyucian rohani dengan melakukan upaya-upaya mulat sarira (interospeksi diri). Artinya, pada saat melaksanakan catur brata penyepian, khususnya pada saat amati karya umat harus melakukan renungan atas berbagai kesalahan yang telah diperbuat pada tahun-tahun sebelumnya, dan melakukan janji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi kesalahan yang telah diperbuat pada tahun-tahun sebelumnya; (3) Amati Lelungan, artinya tidak bepergian ke luar rumah dengan harapan melakukan aktivitas mawas diri melalui kegiatan meditasi; (4) Amati Lelanguan, yakni tidak mengo- barkan kesenangan atau tidak mengumbar hawa nafsu, akan tetapi melakukan pemusatan pikiran dan konsentrasi serta berserah diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Brata ini dilakukan selama satu hari (24 jam) penuh, yakni dari jam 06.00 pagi hingga jam 06.00 pagi besoknya. Kata nyepi dari segi etimologi kataberasal dari kata sepi (sipeng) yang berarti sunyi. Sunyi dimaksudkan dalam konteks ini adalah melaksanakan catur berata penyepian dengan maksud untuk mencapai keheningan, kesunyian, dan ketenangan. Jika dianalisis secara lebih filosofis, maka dapat dimaknai bahwa pelaksanaan catur berata penyepian itu sesungguhnya mengandung makna sebuah proses perjalanan umat dalam rangka melakukan pendakian spiritual untuk menuju alam sunya. Sebab pada hakikatnya dalam keadaan sepi atau sunya itulah umat Hindu akan dapat menyatukan atman dengan paramatman atau antara jiwa pribadi dengan jiwa alam semesta melalui upaya pengendalian diri.

Mengenai filosofi dari konsep sunya, atau sepi dapat dipedomani dan dihayati dari salah satu bait kakawin Dharma Sunya sebagai berikut.

Ambek Sang wiku tan paka- bingan Tumutug ri kamurtining tayal/ Tan linggar humeneng licin mepekis. Bhuwana sahananing jagat traya/ Nora Ang lor kiduling kidul telas. Hana sira juga mapekas nir asraya/ Kewat kewala sunya nirbana lengong Luput mangen-angen winarnaya.

Artinya:
Secara pedagogis bait kakawin di atas mengajarkan kepada umat Hindu bahwa pikiran seseorang yang sukses melakukan yoga adalah tidak terbatas. Dalam arti mereka yang seperfi itu telah menjangkau alam tertinggi, yakni alam yang sangat halus, tidak mengenai batas utara atau selatan, yang dalam konteks yoga disebut nir asraya, langgeng, berbadan sunyi yang sempuma, dan sangat sulit dipikirkan serta digambarkan. Jadi, intinya pelaksanaan catur berata penyepian. Merupakan satu bentuk latihan mengendalikan diri yang dilandasi oleh sebuah yadnya, yakni rasa hati yang tulus ikhlas dan kesadaran penuh untuk berbuat dharma.

Oleh: I Ketut Suda
Penulis adalah Guru Besar Sosiologi Pendidikan, Pascasarjana, Universitas Hindu Indonesia

**https://parisada.or.id/nyepi-sebuah-edukasi/

Share: